Disarikan dari BEI Vol. G Station Operation & Maintenance

Pengertian dari effisiensi boiler adalah seberapa besar kemampuan boiler merubah nilai energi kimia bahan bakar, baik itu bahan bakar padat (solid), cair (liquid) maupun gas. Terdapat dua pendekatan dari effisiensi boiler, yaitu :

1. Methoda Langsung (Dirrect Method)

Pendekatan ini merupakan pendekatan model lama (mulai jarang dipergunakan sejak 1950-an). Pendekatan ini mendapatkan nilai effisiensi dengan mengukur jumlah panas yang terdapat pada uap, dan membandingkan dengan jumlah panas yang diberikan bahan bakar.

Keunggulan methode ini :

· Perhitungan lebih mudah. Dari aspek uap, dengan melihat indikator parameter uap (Flow, Temp. & Press), kemudian dilihar pada tabel uap, bisa dilihat nilai kalor uap. Sedangkan dari aspek bahan bakar, cukup melihat data nilai kalor netto per massa bahan bakar (LHV) dan mengalikan dengan jumlah massa bahan bakar, akan bisa mendapatkan nilai potensi kalor bahan bakar.

· Tidak membutuhkan alat ukur yang rumit, cukup memanfaatkan alat ukur yang terpasang pada boiler.

Kelemahan methode ini :

· Nilai kesalahan (error) cukup besar, dimana ketelitian alat ukur (instrumentasi) sangat mempengaruhi hasil pengukuran.

· Tidak mengetahui sumber komponen losses (kerugian) boiler, sehingga tidak dapat melakukan langkah-langkah untuk mengurangi losses boiler.

2. Methoda tak Langsung (inDirrect Method)
Pendekatan ini mendapatkan nilai effisiensi dengan mengukur jumlah potensial panas bahan bakar (LHV) dan menguranginya dengan losses yang terdapat pada boiler.

Keunggulan methode ini :
· Akurasi dari pendekatan ini cukup baik. Ketelitian alat ukur cukup kecil pengaruhnya terhadap nilai effisiensi.
· Pendekatan ini tidak hanya mengukur effisiensi, tetapi juga mengukur besarnya losses boiler.
Kelemahan methode ini :
· Dibutuhkan analisa yang lebih rumit, dalam hal analisa besarnya udara masuk, dan gas buang keluar dari boiler.

Komponen Losses :
a. Dry Flue Gas (gas buang kering)
Losses ini terjadi karena temperatur gas buang yang masih cukup tinggi setelah melewati Air Heater (pemanas udara masuk boiler) dibandingkan dengan udara sekitar (ambient temperature). Temperatur tinggi ini membawa energi yang masih cukup tinggi, tetapi tidak bisa dipergunakan lagi (tidak mempunyai daya guna) bagi boiler
b. Wet Flue Gas (gas buang basah)
Losses ini terjadi karena adanya uap pada gas buang. Uap ini terjadi dari :

  • Moisture (kadar air) bahan bakar
  • Moisture dari pembentukan/ pembakaran Hydrogen

c. Sensible Heat in Water Vapour (panas sensible pada uap air)
Analisa ini dipergunakan pada saat analisa menggunakan kesetimbangan panas LHV.

d. Combustible in Ash (bahan dapat terbakar pada abu)
Losses ini terjadi karena adanya karbon pada abu (bottom ash & fly ash).

e. Radiation & unAccounted Loss (radiasi dan kerugian tidak terhitung)
Losses karena radiasi dan kerugian yang tidak bisa dihitung. Komponen radiasi biasanya berkisar 50 % dari losses total. Sedangkan kerugian tidak terhitung meliputi kerugian yang tidak terukur, terlalu kecil, atau tidak bisa terukur, meliputi :

  • Moisture dari udara bakar
  • Panas yang terdapat pada abu
  • Hidrokarbon pada gas bahan bakar
  • Pembakaran karbon tidak sempurna

Mungkin bagi beberapa orang yang awam tentang pembangkitan ataupun instalasi produksi, istilah Commisioning pastilah membingungkan. SO, DARPIADA RIBET… MENDING KITA PAKAI ISTILAH UMUM.

Kalau diibaratkan mobil, maka commisioning bisa dikatakan TEST DRIVE (tapi bukan Show Room Test Drive lho…). Setelah suatu mobil menjalani proses prototype (model awal), maka dilakukan test drive. Dimulai dari tes akselerasi 0 s/d 60 km/jam, kemudian akselerasi 0 s/d 100 km/jam. Setelah itu test pengereman dari 60 km/jam ke 0, 100 km/jam ke 0. Proses berikutnya adalah sliding test, biasa dilakukan di sirkuit basah, untuk melihat performance dan kestabilan saat kondisi hujan (ingat negara ini termasuk yang memiliki curah hujan berlimpah). Test Tabrak (benar2 ditabrakan)… Dan terakhir test endurance… biasanya dipilih periode tertentu, misalnya 150 jam, untuk melihat kondisi mobil saat dipakai pada kondisi ekstrim. Jika suatu prototype lulus semua tes, maka mobil bisa dikategorikan layak, dan mulai masuk produksi massal. Setelah produksi, ada beberapa sampling dari mobil untuk di uji ulang, melihat performance dan kehandalan mobil.

Lha itu kan mobil, kalo pembangkit kayak gimana??

Yaa… gitu aja koq repots…  ambil yang gampang aja yaa… Kalau pembangkit, commisioning itu ya proses ujian tadi, dimulai setelah proses konstruksi dinyatakan selesai…. maka proses commisioning dijalankan.

Step-Step Commisioning Test

Individual Test

Yang termasuk kategori individual test, adalah pengujian karakteristik setiap equipment. Secara general, Equipment dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : Rotating part, Vessel, dan piping and fitting. Untuk rotating part, misal motor, karakteristik yang cukup menjadi perhatian adalah Vibrasi, Ampere, Temperatur (motor), pressure and flow (pompa), dll,dll. Untuk Vessel, yang jelas ya, ada ga kebocoran (pake hidrostatis sampai test pressure, truss NDT untuk melihat kualitas sambungan las). Piping and fitting juga sama, kemungkinan besar melihat kebocoran, NDT, dan terakhir yang cukup penting, losses dari piping and fitting (elbow, strainer, valve,etc,etc)

Sub Unit Test

Kalau tadi melihat karakteristik individual, sekarang giliran melihat secara sub system. Bagaimana karakteristik dari masing2 equipment secara assembly. misal, condensate water system, pengisian dari kondenser ke deaerator. waktunya berapa lama, buakaan valve berapa %, dan parameter2 yang cukup njelimet ;-D. Kalau Boiler, melihat karakteristik dari boiler, misalnya test firing, melihat kondisi komponen pembakaran boiler, melihat performance drum, dan yang sering agak dilupakan, melihat pemuaian boiler pada saat terkena panas. Hal ini cukup penting, mengingat boiler akan bekerja apad temperatur dan tekanan tinggi untuk periode kontinyu yang cukup lama (sekitar 8000 jam setahun).

Safety Interlock Test

Jika sudah selesai, maka langkah selanjutnya, mulailah semua komponen digandeng menjadi satu kesatuan utuh. Untuk Power plant, dimulailah proses heating, sampai mencapai tekanan dan temperatur tertentu (berdasarkan manual book tentunya). Terus uap hasil produksi boiler tadi digunakan untuk memutar turbin (rolling turbin), samapi sekitar 500 rpm, dan di-TRIP-kan (Rub-check). Fungsi rubcheck untuk mengenali adanya gesekan dan suara-suara aneh yang ada di turbin (kalau ada, berarti turbin bermasalah dan harus diteliti/dibongkar lagi). Kalau OK, lanjut rolling, sampai putaran tertentu. Terus, test Overspeed (umumnya 110 % rating speed). Habis itu, Condenser Vacuum Test,, Oil Loss test, dll,dll. OK, semua, barulah Synchron Test (masuk jaringan boss).

Fail-Safe Test (Run Back Test)

Seperti mobil, ada test pengereman, Pembangkit juga wajib memiliki kemampuan pengereman. Pengereman pembangkit disini maksudnya adalah kemampuan pembangkit untuk merespon kegagalan peralatan. Misalnya salah satu Force Draught Fan Trip. pembangkit akan berjalan dengan kapasitas 50 %. Lha respon peralatan peralatan lain, harus menyesuaikan secara AUTOMATIS, kebutuhan 50 % tadi, misalmnya pengurangan supply bahan bakar, pengurangan bukaan governor valve, pengurangan supply feedwater ke boiler, dll, dll. Tujuan dari test ini, jika terjadi suatu trouble, maka pembangkit merespon dengan aman (Fail-Safe Operation)

Endurance Test

Sudah selesai Run-Back, dilaksanakan Endurance Test, misalnya 2 x 24 jam. Jadi pembangkit running Continue, pada rated load selama 2 x 24 jam. Ini persyaratan utama sebelum masuk COD-Commercial Operation Date. Jadi, kalau belum bisa Continue Running, ya belum bisa jualan :-D.

Performance Test

Lha, data dari Continue Running, diolah, menjadi suatu laporan yang comprehensive untuk melihat kinerja (performance) dari pembangkit. Data hasil berupa, effisiensi, heat rate, Specific Fuel Consumption, dll dll dll.

Kayaknya gitu aja dulu deh…. bersambung kalau ga ada boss yang ngintip….

Essay untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia

Suatu unit pembangkitan merupakan aset investasi yang bernilai besar. Dibutuhkan dana yang cukup signifikan untuk membangun suatu unit pembangkitan. Dengan investasi yang cukup besar, maka diharapkan suatu unit pembangkit dapat beroperasi dengan baik atau kinerjanya memuaskan. Kriteria keberhasilan suatu unit pembangkit dapat ditinjau dari berapa besar nilai keandalan unit secara equivalen (EAF – Equivalent Availability Factor). Target dari suatu unit pembangkit adalah mendapatkan nilai EAF seoptimal mungkin, dengan efisiensi setinggi mungkin (heat rate yang rendah) pada kisaran operasi rata-rata (Rated Load yang umumnya diambil dari data spesifikasi Daya Mampu Netto – DMN). Atau dengan kata lain, unit pembangkit dapat beroperasi dengan optimal dalam jangka waktu yang tidak terputus atau kontinyu dengan biaya pengoperasian yang rasional. Nilai EAF yang tinggi berarti potensial kehilangan keuntungan dari tidak beroperasinya unit pembangkit bisa ditekan seminimal mungkin. Sedangkan Heat Rate merupakan perbandingan berapa besar kalor yang dibutuhkan untuk menghasilkan daya yang diharapkan. Heat Rate rendah, maka setiap volume bahan bakar bisa menghasilkan daya listrik yang lebih besar daripada unit pembangkit yang memiliki Heat Rate yang tinggi (lebih boros). Salah satu cara mudah untuk mengetahui nilai Heat Rate unit pembangkit adalah dengan mengetahui berapa besar bahan bakar yang digunakan (Specific Fuel Consumption – SFC). Makin besar SFC pada beban yang sama, maka unit pembangkit tersebut makin boros.
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilan/ kinerja suatu unit pembangkit. Faktor-faktor tersebut bahkan sudah bisa terlihat sebelum unit pembangkit dibangun. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu unit pembangkit adalah :

1. Faktor Desain

Dapat terlihat, faktor ini diawali jauh sebelum unit pembangkit memasuki Commercial Operation Date – COD. Bahkan jauh sebelum suatu unit pembangkit dibangun. Faktor desain akan sangat mempengaruhi karakteristik dari faktor-faktor berikutnya. Kalau diibaratkan suatu rumah, maka faktor desain adalah faktor yang menjadi azas suatu rumah dibangun. Pada suatu instalasi unit pembangkitan, tinjauan dari faktor desain berupa :

  • Faktor perancangan kapasitas

Perancangan kapasitas pembangkit akan mempengaruhi perancangan parameter-parameter operasi, misalnya tekanan, temperatur dan flow main steam. Tipe turbin, Single cylinder, HP with reheat, atau double LP cylinder casing.

  • Faktor pemilihan bahan bakar

Bahan bakar yang akan digunakan mempengaruhi jenis konversi energi yang akan dikendalikan menjadi daya listrik. Ambil misal pemilihan batubara jenis sub-bituminous dengan nilai kalor LHV 5000 kkal/kg. Dari spesifikasi kandungan batubara (carbon content, volatile, moisture, ash content, etc) akan mempengaruhi secara spesifik perancangan pola pembakaran, baik itu penanganan bahan bakar, maupun konstruksi furnace (ruang bakar) boiler. Selain itu, komponen pendukung pengoperasian juga akan mengikuti tipe pemilihan bahan bakar. Misalnya, desain Air and Flue Gas System, desain ash handling, bahkan desain sistem pengendalian pembakaran.

  • Faktor lokasi/ lingkungan

Faktor lokasi yang menjadi perhatian utama adalah :
– reservoir pendingin, apakah menggunakan air tawar, atau air laut
– humidity
– Corrosion Rate
– seismic movement
– wind velocity
– City Waste or Sedimentation
– Tidal

  • Faktor standar desain dan material yang digunakan

Terdapat beberapa referensi dalam perancangan unit pembangkit, bisa menggunakan ASME Code, ANSI, JIS, DIN secara konsisten. Yang dimaksud secara konsisten disini adalah faktor aspek-aspek safety dan kemudahan operasi dan pemeliharaan unit pembangkit di masa mendatang. Dengan menggunakan standar yang jelas, akan didaptkan kemudahan dalam pemilihan material dan spare part yang dibutuhkan.

  • Faktor analisa biaya

Perencanaan biaya akan mempengaruhidalam pengambilan keputusan pemilihan unit pembangkit. Pada teori ekonomi konvensional, keuntungan didapatkan dengan mengambil marjin yang besar antara biaya dan pendapatan. Tetapi pada pendekatan modern, akan terlihat bahwa komponen ekonomi bukan hanya pada biaya dan pendapatan, akan tetapi juga pada kemampuan unit pembangkit untuk mengurangi potensial loss berupa kegagalan beroperasi. Jika menitikberatkan pada fixed cost yang rendah tanpa memperhatikan kualitas sesuai dengan proporsinya, maka hampir bisa dipastikan akan berhadapan dengan variabel cost berupa biaya operasi pemeliharaan yang tinggi, dan potensial loss yang tinggi pula.

2.  Faktor Konstruksi
Setelah kaidah-kaidah desain yang sesuai diterapkan, maka fase selanjutnya dalam siklus hidup pembangkit adalah fase konstruksi (erection). Konstruktor dihadapkan pada suatu tanggung jawab untuk mewujudkan desain yang sudah disepakati ke dalam bentuk nyata. Kecerobohan dalam fase konstruksi bisa membawa dampak yang akan merugikan, bahkan bertahun-tahun sesudah COD. Hal ini sudah terbukti di banyak kasus. Keteledoran pekerja konstruksi dalam menyimpan peralatan, bahkan tertinggal dalam tube boiler, menyebabkan kebocoran yang selain menyebabkan downtime, juga bisa membahayakan keselamatan kerja bagi pelaksana pekerjaan. Peran QC dan Safety engineer sangat vital dalam fase ini. Keseuaian material, kesesuaian bentuk dengan desain, kesesuaian sistem kontrol dengan desain membuat umur pembangkit bertahan sesuai dengan umur teknis dan ekonomis yang diharapkan.
3. Faktor Komisioning
Komisioning atau fase pengetesan menjadi titik awal keberhasilan atau kegagalan suatu unit pembangkit. Fase ini dimulai dengan individual test masing-masing peralatan, menjadi individual test system, dan akhirnya secara menyeluruh test performa unit pembangkitan. Pada fase ini dilakukan fine tuning untuk mengatur sistem kontrol pembangkit agar berjalan sesuai dengan kriteria desain yang diharapkan. Kegagalan operasi pada fase ini merupakan suatu petunjuk untuk melihat potensial-potensial risk yang mungkin terjadi. Apakah unit pembangkit dapat menghadapi suatu kegagalan dengan aman (fail-safe operation). Pelaksanaan komisioning secara serius bisa memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi awal unit pembangkit. Jika unit pembangkit lulus dari fase ini, maka unit pembangkit siap memasuki periode komersial (COD)
4. Faktor Operasi dan Pemeliharaan
Seperti mesin pada umumnya, pola operasi dan pemeliharaan akhirnya menjadi suatu faktor yang vital pengaruhnya bagi kinerja pembangkit. Pola operasi yang sesuai dengan desain (Standard Operation Procedure – SOP), pola pemeliharaan yang sesuai dengan Standard Maintenance Procedure, dan continuous Improvement akan membuat Unit Pembangkit beroperasi dengan kinerja yang baik. Dengan Kinerja yang baik, maka bisa diharapkan keuntungan dari investasi yang telah ditanamkan akan bisa diraih. Telah banyak metoda yang bagus yang sudah dikembangkan bisa diterapkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja Unit Pembangkitan. Akan tetapi, faktor kunci dari Operasi dan Pemeliharaan yang baik adalah SDM yang berkualitas dalam hal Soft Competence dan Hard Competence, Manajerial yang baik, serta kesungguhan hati dan niat yang tulus dari tiap pelaksana pekerjaan untuk bekerja secara baik.